Selasa, 07 Februari 2012

Jenis - Jenis Ulos BATAK


Jenis - Jenis Ulos BATAK

Ada beberapa jenis Ulos :

1. Si Tolu Tuho









Si tolu tuho-Bolean.Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk melubang tanah guna menanam benih.







Si Tolu Tuho Marjungkit





















2. SURI SURI.
Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu ulos ini diperguakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe. Ada keistimewaan ulos ini yaitu karena panjangnya melebihi ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan sipemakai layaknya memakai dua ulos.


3. Rujjat.
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos “edang-edang” (dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu “mangupa-upa” dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).


4. Ragi Idup Silindung.
Tipe ragi idup dari daerah Silindung (Tarutung).Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tubu) adalah kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang mengatakan “martanda do suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do ugasan”, yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak yang punya hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui sebagai pengambil kata putus (putusan terakhir).Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.



5. Ragi Idup.

Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”. Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di Tula (hari tengah dua puluh). ...




6. MANGIRING.
Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai.pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila mampe goar untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang maratur”.

7. Sadum.

Sadum Angkola. Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang burangir/harunduk panyurduan).Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.
Sadum Toba

8. SI BOLLANG.
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang putihnya menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Untuk ulos “saput” atau ulos “tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain.Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni ampang” dan juga bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut “ulos pamontari”. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai sebagai ulos pangupa atau parompa.
Si bollang Rasta Pamottari

9. BINTANG MARATUR.
Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “sinadongan.” (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan ulos mangiring dan harganya relatif sama.



10. HARUNGGUAN.Jenis ulos ini sudah sangat langka.Dulu digunakan pada ulaon Harajaon dan Hasuhutan Gondang.Digunakan juga oleh kaum ibu (Paniaran, marsitabolan, marsanggul bane).
11. Ulos Antak-Antak,
dipakai selendang orang tua melayat orang meninggal, dan dipakai sebagai kain dililit/ hohop hohop waktu acara manortor.
12.Ulos Padang Ursa, dipakai sebagai Tali-tali dan Selendang.
13 Ulos Pinan Lobu-Lobu, dipakai sebagai Selendang.
14. Ulos Pinuncaan,
Ulos ini sebenarnya terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu Ulos yang kegunaannya antara lain:
Ulos ini dapat dipakai berbagai keperluan acara-acara duka cita atau suka cita, dalam acara adat ulos ini dipakai/ disandang oleh Raja-Raja Adat maupun oleh Rakyat Biasa selama memenuhi pedoman misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat suhut sihabolonon/ Hasuhutonlah (“tuan rumah”) yang memakai ulos ini, kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran, ulos ini juga dipakai/ dililit sebagai kain/ hohop-hohop oleh keluarga hasuhuton, dan Ulos ini sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan.
15. Ulos Ragi Hotang Ulos ini biasa diberi kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai Ulos Hela.
16 Ragi Huting, Ulos ini sekarang sudah Jarang dipakai, konon jaman orang tua dulu sebelum merdeka, anak-anak perempuan pakai Ulos Ragi Huting ini sebagai pakaian sehari-hari dililit didada (Hoba-hoba), dan kemudian dipakai orang tua sebagai selendang apabila bepergian.
17. Ulos Sibunga Umbasang dan Ulos Simpar, dipakai sebagai Selendang.
18. Ulos Simarinjam sisi, dipakai sebagai kain, dan juga dilengkapi dengan Ulos Pinuncaan disandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani yang memakai ini satu orang paling depan.
19. Ulos Tumtuman, dipakai sebagai tali-tali yang bermotif dan dipakai anak yang pertama dari hasuhutan.

note : catatan ini diolah dari berbagai sumber dan membutuhkan masukan dan keterangan yang melengkapi. mauliate

sumber :
1. http://tanobatak.wordpress.com
2. http://bersamatoba.com

ULOS BATAK


ULOS BATAK

February 12, 2011
By Daniel T.A. Harahap
Oleh: Pdt Daniel T.A. Harahap
1. HASIL PERADABAN
Ulos (lembar kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut catatan beberapa ahli ulos (baca: tekstil) sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat tenun tangan dari India. Hal itu dapat diartikan sebelum masuknya
alat tenun ke Tanah Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil). Itu artinya belum juga ada budaya memberi-menerima ulos (mangulosi). Kenapa? Karena nenek-moyang orang Batak masih mengenakan cawat kulit kayu atau tangki. Pertanyaan: lantas apakah yang diberikan hula-hula kepada boru pada jaman sebelum masyarakat Batak mengenal alat tenun dan tekstil tersebut?

Pertanyaan itu hendak menyadarkan komunitas Kristen-Batak untuk menempatkan ulos pada proporsinya. Ulos pada hakikatnya adalah hasil sebuah tingkat peradaban dalam suatu kurun sejarah. Ulos pada awalnya adalah pakaian sehari-hari masyarakat Batak sebelum datangnya pengaruh Barat. Perempuan Batak yang belum menikah melilitkannya di atas dada sedangkan perempuan yang sudah menikah dan punya anak atau laki-laki cukup melilitkannya di bawah dada (buha baju). Ulos juga dipakai untuk mendukung anak (parompa), selendang (sampe-sampe) dan selimut (ulos) di malam hari atau di saat kedinginan.

Dalam perkembangan sejarah nenek-moyang orang Batak mengangkat kostum atau tekstil (pakaian) sehari-hari ini menjadi simbol dan medium pemberian hula-hula kepada boru (pihak yang lebih dihormat kepada pihak yang lebih menghormat).

2. MAKNA AWAL
Secara spesifik pada masa pra-kekeristenan ulos atau tekstil sehari-hari itu dijadikan medium (perantara) pemberian berkat (pasu-pasu) dari mertua kepada menantu/ anak perempuan, kakek/nenek kepada cucu, paman (tulang) kepada bere, raja kepada rakyat. Sambil menyampaikan ulos pihak yang dihormati ini menyampaikan kata-kata berupa berkat (umpasa) dan pesan (tona) untuk menghangatkan jiwa si penerima. Ulos sebagai simbol kehangatan ini bermakna sangat kuat, mengingat kondisi Tanah Batak yang dingin. Dua lagi simbol kehangatan adalah: matahari dan api.

Bagi nenek-moyang Batak yang pra-Kristen selain ulos itu an sich yang memang penting, juga kata-kata (berkat atau pesan) yang ingin disampaikan melalui medium ulos itu. Kita juga mencatat secara kreatif nenek-moyang Batak juga menciptakan istilah ulos na so ra buruk (ulos yang tidak bisa lapuk), yaitu tanah atau sawah. Pada keadaan tertentu hula-hula dapat juga memberi sebidang tanah atau ulos yang tidak dapat lapuk itu kepada borunya. Selain itu juga dikenal istilah ulos na tinonun sadari (ulos yang ditenun dalam sehari) yaitu uang yang fungsinya dianggap sama dengan ulos.
Ulos yang panjangnya bisa mencapai kurang lebih 2 meter dengan lebar 70 cm (biasanya disambung agar dapat dipergunakan untuk melilit tubuh) ditenun dengan tangan. Waktu menenunnya bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung tingkat kerumitan motif. Biasanya para perempuan menenun ulos itu di bawah kolong rumah. Sebagaimana kebiasaan jaman dahulu mungkin saja para penenun pra-Kristen memiliki ketentuan khusus menenun yang terkait dengan kepercayaan lama mereka. Itu tidak mengherankan kita, sebab bukan cuma menenun yang terkait dengan agama asli Batak, namun seluruh even atau kegiatan hidup Batak pada jaman itu. (Yaitu: membangun rumah, membuat perahu, menanam padi, berdagang, memungut rotan, atau mengambil nira). Mengapa? Karena memang mereka pada waktu itu belum mengenal Kristus! Sesudah nenek moyang kita mengenal Kristus, mereka tentu melakukan segala aktivitas itu sesuai dengan iman Kristennya, termasuk menenun ulos!
3. PERGESERAN MAKNA ULOS
Masuknya Injil melalui para misionaris Jerman penjajahan Belanda harus diakui sedikit-banyak juga membawa pergeseran terhadap makna ulos. Nenek-moyang Batak mulai mencontoh berkostum seperti orang Eropah yaitu laki-laki berkemeja dan bercelana panjang dan perempuan Batak (walau lebih lambat) mulai mengenal gaun dan rok meniru pola berpakaian Barat. Ulos pun secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan sebagai kostum atau pakaian sehari-hari kecuali pada even-even tertentu. Ketika pengaruh Barat semakin merasuk ke dalam kehidupan Batak, penggunaan ulos sebagai pakaian sehari-hari semakin jarang. Apa akibatnya? Makna ulos sebagai kostum sehari-hari (pakaian) berkurang namun konsekuensinya ulos (karena jarang dipakai) jadi malah dianggap “keramat”. Karena lebih banyak disimpan ketimbang dipergunakan, maka ulos pun mendapat bumbu “magis” atau “keramat”. Sebagian orang pun mulai curiga kepada ulos sementara sebagian lagi menganggapnya benar-benar bertuah.
4. ULOS DAN KEKRISTENAN
Bolehkah orang Kristen menggunakan ulos? Bolehkah gereja menggunakan jenis kostum atau tekstil yang ditemukan masyarakat Batak pra-Kristen? Jawabannya sama dengan jawaban Rasul Paulus kepada jemaat Korintus: bolehkah kita menyantap daging yang dijual di pasar namun sudah dipersembahkan di kuil-kuil (atau jaman sekarang disembelih dengan doa dan kiblat agama tertentu)? Jawaban Rasul Paulus sangat tegas: boleh. Sebab makanan atau jenis pakaian tidak membuat kita semakin dekat atau jauh dari Kristus (II Korintus 8:1-11). Pertanyaan yang sama diajukan oleh orang Yahudi-Kristen di gereja Roma: bolehkah orang Kristen makan babi dan atau bercampur darah hewan dan semua jenis binatang yang diharamkan oleh kitab Imamat di Perjanjian Lama? Jawaban Rasul Paulus: boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus (Roma 14:17). Analoginya sama: bolehkah kita orang Kristen memakai ulos? Jawabnya : boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal kostum, jenis tekstil atau mode tertentu, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.

Sebagaimana telah dikatakan di atas, pada masa lalu ulos adalah medium (pengantara) pemberian berkat hula-hula kepada boru. Pada masa sekarang, bagi kita komunitas Kristen-Batak ulos bukan lagi medium, tetapi sekedar sebagai simbol atau tanda doa (permohonan berkat Tuhan) dan kasih hula-hula kepada boru. Dengan atau tanpa memberi ulos, hula-hula dapat berdoa kepada Allah dan Tuhan Yesus Kristus memohon berkat untuk borunya. Ulos adalah simbol doa dan kasih hula-hula kepada boru. Kedudukannya sama dengan simbol-simbol lainnya: bunga, cincin, sapu tangan, tongkat dll.
5. NILAI ULOS BAGI KITA ORANG KRISTEN MODEREN
Sebab itu bagi kita komunitas Kristen-Batak moderen ulos warisan leluhur itu tetap bernilai atau berharga minimal karena 4 (empat) hal:

Pertama: siapa yang memberikannya. Ulos itu berharga karena orang yang memberikannya sangat kita hargai atau hormati. Ulos itu adalah pemberian mertua atau tulang atau hula-hula kita. Apapun yang diberikan oleh orang-orang yang sangat kita hormati dan menyayangi kita – ulos atau bukan ulos – tentu saja sangat berharga bagi kita.
Kedua: kapan diberikan. Ulos itu berharga karena waktu, even atau momen pemberiannya sangat penting bagi kita. Ulos itu mengingatkan kita kepada saat-saat khusus dalam hidup kita saat ulos itu diberikan: kelahiran, pernikahan, memasuki rumah dll. Apapun pemberian tanda yang mengingatkan kita kepada saat-saat khusus itu – ulos atau bukan ulos – tentu saja berharga bagi kita.

Ketiga: apa yang diberikan.
 Ulos itu berharga karena tenunannya memang sangat khas dan indah. Ulos yang ditenun tangan tentu saja sangat berharga atau bernilai tinggi karena kita tahu itu lahir melalui proses pengerjaan yang sangat sulit dan memerlukan ketekunan dan ketrampilan khusus. Namun tidak bisa dipungkiri sekarang banyak sekali beredar ulos hasil mesin yang mutu tenunannya sangat rendah.
Keempat: pesan yang ada dibalik pemberian ulos. Selanjutnya ulos itu berharga karena dibalik pemberiannya ada pesan penting yang ingin disampaikan yaitu doa dan nasihat. Ketika orangtua atau mertua kita, atau paman atau ompung kita, menyampaikan ulos itu dia menyampaikan suatu doa, amanat dan nasihat yang tentu saja akan kita ingat saat kita mengenakan atau memandang ulos pemberiannya itu.

Disini kita tentu saja harus jujur dan kritis. Bagaimana mungkin kita menghargai ulos yang kita terima dari orang yang tidak kita kenal, pada waktu sembarangan secara masal, dengan kualitas tenunan asal-asalan? Tidak mungkin. Sebab itu komunitas Batak masa kini harus serius menolak trend atau kecenderungan sebagian orang “mengobral ulos”: memberi atau menerima ulos secara gampang. Ulos justru kehilangan makna karena terlalu gampang memberi atau menerimanya dan atau terlalu banyak. Bagaimana kita bisa menghargai ulos sebanyak tiga karung?
6. SIAPA MEMBERI – SIAPA MENERIMA?
Dalam Batak ulos adalah simbol pemberian dari pihak yang dianggap lebih tinggi kepada pihak yang dianggap lebih rendah. Namun keadaan kadang membingungkan. Ulos diberikan juga justru kepada orang yang dianggap pemimpin atau sangat dihormati. Dalam kultur Batak padahal ulos tidak pernah datang dari “bawah”. Lantas mengapa kita kadang memberi ulos kepada pejabat yang justru kita junjung, atau kepada pemimpin gereja yang sangat kita hormati? Bukankah merekalah yang seharusnya memberi ulos (mangulosi)? Kebiasaan memberi ulos kepada Kepala Negara atau Eforus (pimpinan gereja) selain mereduksi makna ulos juga sebenarnya merendahkan posisi kepala negara dan pemimpin gereja itu.

7. HANYA SALAH SATU CIRI KHAS
Ulos memang salah satu ciri khas Batak. Namun bukan satu-satunya ciri kebatakan. Bahkan sebenarnya ciri khas Batak yang terutama bukanlah ulos (kostum, tekstil), tetapi bius dan horja, demokrasi, parjambaran, kongsi dagang, dan dalihan na tolu. Posisi ulos menjadi sentral dan terlalu penting justru setelah budaya Batak mengalami reduksi yaitu diminimalisasi sekedar ritus atau seremoni pernikahan yang sangat konsumtif dan eksibisionis. Hanya dalam rituslah kostum atau tekstil menjadi dominan. Dalam aksi sosial atau perjuangan keadilan politik, ekonomi, sosial dan budaya kostum nomor dua. Inilah tantangan utama kita: mengembangkan wacana atau diskursus kebatakan kita yang lebih substantif atau signifikan bagi kemajuan masyarakat dan bukan sekadar meributkan asesori atau kostum belaka.

8. ULOS DITERIMA DENGAN CATATAN
Ekstrim pertama: Sebagian orang Kristen-Batak menolak ulosnya karena dianggap sumber kegelapan. Padahal darah Tuhan Yesus yang tercurah di Golgota telah menebus dan menguduskan tubuh dan jiwa serta kultur Batak kita. Ulos artinya telah boleh dipergunakan untuk memuliakan Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus.
Ekstrim yang lain: Sebagian orang Kristen-Batak mengeramatkan ulosnya. Mereka menganggap ulos itu keramat, tidak boleh dijual, tidak boleh dipakai. Mereka lupa bahwa Kristus-lah satu-satunya yang berkuasa dan boleh disembah, bukan warisan nenek moyang termasuk ulos.

Sikap kristiani: Tantangan bagi kita komunitas Kristen-Batak sekarang adalah menempatkan ulos pada proporsinya: kostum atau tekstil khas Batak. Tidak lebih tidak kurang. Bukan sakral dan bukan najis. Jangan ditolak dan jangan dikeramatkan! Jangan dibuang dan jangan cuma disimpan!

(Pdt Daniel.T.A.Harahap)
Catatan:
Tulisan ini saya posting kembali untuk mengenang Ibunda Humara Sereuli Hutabarat, Ompu Paganda, yang telah mengajarkan saya hidup beradat berdasar kasih.

Pengerajin Ulos Batak


Pengerajin Ulos Batak
Inang boru Butar butar Pengerajin ulos di Lumban Gala gala, kecamatan Balige, kabupaten Toba Samosir, propinsi Sumatera Utara, sedang mengerajin ulos Ragu Huting ,”selama dua minggu lamanya sedikitnya tiga ulos siap untuk dikerjakan,” katanya kepada Bersama Toba dot Com , Selasa (20/5) di Huta Lumban gala-gala.
gbrpengrajin.JPG
Dikatakan harga Ulos Ragi Huting sebesar Rp.400 ribu, kemudian menurutnya macam-macam dari ulos adalah seperti Ulos Padang Ursa, Ulos Ragi Harangan, Ulos Bintang Maratur, UlosPinuncaan, Ulos Tumtuman, Ulos Ragi Pakko, Ulos Tutur-tutur, Ulos Pinan Lobu-lobu, Ulos Antahantak, Ulos Ragi Huting, Ulos Suri-suri Ganjang, Ulos Bolean, Ulos mangiring, Ulos Sibunga Ambasang, Ulos Sitolu Tuho, Ulos Simpar, dan Ulos Sibolang Rasta Pamontari.
Semuanya Ulos tersebut diatas dapat dipesan kepada inang boru Butar-butar dengan harga berpariasi, yang berlokasi percis sebelum simpang empat dekat gereja di Huta Lumban gala-gala kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir.

Pencarian pada artikel ini:

Ulos Batak Sumatera Utara


Ulos Batak adalah lambang kasih sayang...

Siapa yang tak kenal ulos? Kain tenunan indah dari kebudayaan Batak. Secara harafiah, ulos berarti kain selimut. Menurut leluhur Batak, ulos merupakan lambang kasih sayang dan dapat memberikan kehangatan.


Ulos sebagai salah satu warisan budaya Batak, harus terus dikembangkan agar dapat mendunia. Ulos mempunyai keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki kain tenun lainnya. Yakni ulos bukan hanya sekedar produk berbentuk kain tenun melainkan juga mempunyai kedudukan tersendiri di dalam budaya Batak yang dikenal dengan kasih sayang mereka yang hangat.
Ulos Batak adalah lambang kasih sayang...

Siapa yang tak kenal ulos? Kain tenunan indah dari kebudayaan Batak. Secara harafiah, ulos berarti kain selimut. Menurut leluhur Batak, ulos merupakan lambang kasih sayang dan dapat memberikan kehangatan.


Ulos sebagai salah satu warisan budaya Batak, harus terus dikembangkan agar dapat mendunia. Ulos mempunyai keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki kain tenun lainnya. Yakni ulos bukan hanya sekedar produk berbentuk kain tenun melainkan juga mempunyai kedudukan tersendiri di dalam budaya Batak yang dikenal dengan kasih sayang mereka yang hangat.


Ulos dirajini sepenuhnya dari benang yang diciptakan dari tumbuh-tumbuhan dan pewarna alami. Penenunannya pun dilakukan dengan tangan sehingga memakan waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan satu lembar. Secara tradisional, ruang tenun terletak di kolong rumah-panggung penenun, yang secara tradisonal adalah perempuan.
Pada perkembangannya, ulos juga telah diberikan kepada orang non-Batak yang dapat dimaknai sebagai tanda penghormatan kepada si penerima ulos. Ulos sebagai salah satu warisan budaya Batak dianggap penting untuk terus dikembangkan agar dapat mendunia.

Perempuan Batak berbaris dan manortor seraya menjinjing Tandok yang berisi beras dalam upacara pesta adat di Tanah Batak.

Ulos dirajini sepenuhnya dari benang yang diciptakan dari tumbuh-tumbuhan dan pewarna alami. Penenunannya pun dilakukan dengan tangan sehingga memakan waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan satu lembar. Secara tradisional, ruang tenun terletak di kolong rumah-panggung penenun, yang secara tradisonal adalah perempuan.
Pada perkembangannya, ulos juga telah diberikan kepada orang non-Batak yang dapat dimaknai sebagai tanda penghormatan kepada si penerima ulos. Ulos sebagai salah satu warisan budaya Batak dianggap penting untuk terus dikembangkan agar dapat mendunia.

Perempuan Batak berbaris dan manortor seraya menjinjing Tandok yang berisi beras dalam upacara pesta adat di Tanah Batak.